Minggu, 17 Desember 2023
Rencana
hanya menjadi wacana. Nyatanya, kami bablas tidur sampai jam 7an. Jarwo—sebagai
tuan rumah—membangunkan kami. Dengan mata sayup, Gading dan Bekti sudah bangun
duluan. Sementara saya, masih saja nyaman bercengkrama dengan kasur. Hingga
pada kedua kalinya, Jarwo membangunkan saya. Jam menunjukkan pukul delapan
pagi.
Lekas,
kami lanjut beberes badan dan barang-barang yang akan kami bawa. Setelah
menyantap gorengan dan lontong sebagai sarapan, kami berangkat. Rencananya yang
akan menyewa perlengkapan kemah di RIR Outdoor Cikampek terpaksa harus
dibatalkan karena beberapa pertimbangan. Pertama, kami harus mengejar waktu
sampai Bandung agar tidak terkena macet. Kedua, sangat beban di kami jika
menyewa di RIR Outdoor Cikampek, karena perjalanan menuju Basecamp Artapela
masih sangat jauh. Pada akhirnya, kami akan menyewa perlengkapan kemah di
daerah Bojongsoang, Bandung, yang searah dengan perjalanan menuju Gunung
Artapela.
Terdapat
dua rute menuju bandung, pertama lewat Wanayasa, lanjut ke Ciater, Cikole,
Lembang, dan sampai di Bandung Kota. Kedua, lewat Purwakarta, Gerbang Tol
Jatiluhur, Cikalong Wetan, Padalarang, Cimahi, dan sampai di Bandung Kota. Kami
memilih lewat di pilihan kedua.
Sesampainya
di Padalarang, tepatnya sebelum stasiun Padalarang, kami berhenti sejenak untuk
istirahat. Seperti biasa, kami memesan gorengan, kopi, es, dan juga menyalakan
rokok. Disana, kami bercerita beberapa hal selama perjalanan. Mulai dari Jarwo
yang hampir menyerempet mobil dan sebagainya yang terjadi di jalanan.
Padalarang
tidak macet seperti biasanya. Terakhir saya melewati Padalarang, itu macet
sekali. Mungkin karena faktor Stasiun Padalarang yang masih dalam tahap
pembangunan. Sekarang, Stasiun Padalarang sudah sangat rapi.
Setelah
dirasa cukup, kami kembali melanjutkan perjalanan, menuju Take Now
Outdoor—tempat penyewaan perlengkapan kemah. Perjalanan di kota Bandung kami
rasa cukup lancar. Tidak terjebak macet. Paling hanya lampu merah menyebalkan
saja di Jalan Soekarno Hatta.
Sekitar
jam 1an, kami sampai di tempat penyewaan perlengkapan kemah. Disana kami
disambut dengan hangat. Mungkin sedikit keliru, ternyata tempat itu masih masuk
ke daerah Buah Batu, belum sampai ke Bojongsoang. Disana, kami menyewa beberapa
perlengkapan seperti Tenda ukuran 6-7 orang, Sleeping Bag, Cooking Set,
peralatan lampu, dan perlengkapan lainnya yang sekiranya diperlukan.
Kami
kembali melanjutkan perjalanan menuju Basecamp Artapela via Cirawa. Di daerah
Baleendah, perut terasa lapar. Kami memutuskan untuk berhenti sejenak mengisi
perut dan Sholat Dzuhur. Disana kami berbincang sejenak mengenai rencana
tracking nanti. Jam menunjukkan pukul empat belas lebih tiga puluh menitan.
Sementara, masih butuh waktu sekitar satu jam lagi untuk mencapai Basecamp
Artapela via Cirawa. Rencana kami yang awalnya mulai tracking setelah Ashar,
terpaksa harus batal. Tak ingin berlama-lama, kami kembali melanjutkan
perjalanan.
Setelah
melewati daerah Ciparay, kami kembali berhenti di Indomaret untuk membeli
pembekalan selanjutnya, yaitu berupa Air dan Snack makanan ringan. Tak lupa
juga roti untuk jaga-jaga kebutuhan karbohidrat kami saat mendaki nanti.
Sebelum
sampai di Basecamp Artapela via Cirawa, kami melewati track pegunungan yang
menyejukkan. Rasanya hampir sama seperti di Ciater sampai Cikole. Namun karena
tempat itu baru saya datangi, saya merasa senang. Gunung Malabar terlihat di
sudut pandang. Namun entah Gunung Artapela dimana.
Tepat
pukul enam belas, kami sampai di Basecamp Artapela via Cirawa. Kami disambut
dengan hangat oleh warga lokal disana. Namun ada yang sedikit aneh dan menjadi
pertanyaan untuk saya sendiri. Di basecamp tersebut hanya sedikit motor yang
terparkir. Apakah diatas sana masih banyak pendaki lain?
Beberapa
orang pendaki keluar dari ruangan basecamp. Entah mereka baru turun atau baru
akan naik. Namun dilihat dari wajah dan fisiknya yang lelah, sepertinya mereka
baru saja turun.
"Mau
naik, A?" Tanya Jarwo dalam bahasa Sunda.
"Baru
turun ini jam 2 siang tadi, A" jawab salah seorang pendaki itu.
Obrolan
Jarwo terhenti disitu karena beberapa pendaki itu sedang sibuk memakai sepatu
dan hendak pergi untuk pulang. Yang dapat kami tangkap adalah, mereka turun
dari puncak sekitar jam 2an, dan baru sampai basecamp jam 4an.
"Hah?
Turun saja dua jam? Bagaimana kami naik nanti?" Pikir saya.
Tak
ingin membuang waktu lebih banyak, kami bergegas beres-beres kembali. Membagi
rata beban yang kami bawa. Setelah itu, kami Shalat Ashar terlebih dahulu
sebelum melakukan tracking.
"Nanti
ke jalan terlebih dahulu, lalu di depan konter, naik ke atas, belok kiri dan
sampai ke jalur awal pendakian, ikuti saja jalur itu sampai bertemu patok
penunjuk arah," ucap warga lokal yang mengelola registrasi Gunung Artapela
itu.
Ya,
sebenarnya saya dan Jarwo sudah sedikit paham mengenai jalur pendakian karena
telah menonton video pendakian dari Fiersa Besari. Namun tetap saja kami harus
teliti kembali, takut ada jalur yang berubah di pendakian nanti.
Setelah
beres perihal registrasi, kami langsung berjalan. Waktu menunjukkan pukul tujuh
belas lewat dua menit ketika kami mulai berjalan. Mengenai pos to pos
Gunung Artapela, saya rasa ini sangat berbeda seperti gunung yang lainnya.
Dimana pos 1 sendiri berada di basecamp. Pos 2 berada di pertengahan gunung dan
selanjutnya langsung menuju puncak. Tapi tidak apa-apa, tidak ada yang salah
mengenai itu. Malah, itu yang menjadi ciri khas tersendiri di Gunung Artapela.
Kami
berjalan sesuai arahan sebelumnya, hingga kami sampai di gerbang awal jalur
pendakian Gunung Artapela. Sebuah batang pohon yang memang sengaja dimiringkan
jatuh ke atap rumah kosong membentuk seperti gerbang.
Di
kejauhan sana, saya melihat jalur tracking yang menanjak diantara perkebunan
milik warga. Pikiran saya sudah berkata hal-hal yang tidak begitu penting.
"Bagaimana
nanti nanjak? Apakah saya bisa sambil membawa Carierr yang seberat ini?"
Pasalnya,
ini pendakian pertama saya dan tanpa persiapan yang matang. Tidak latihan fisik
sebelum mendaki. Yah, jalani saja, semoga tidak terjadi apa-apa. Kami berjalan
satu Banjar. Saya di depan sebagai navigator, Jarwo kedua sebagai Leader,
Gading ketiga sebagai Logistik, dan Bekti terakhir sebagai Sweeper.
Betul
seperti apa yang saya khawatirkan, di tengah jalur yang menanjak diantara
perkebunan warga, saya sudah merasa lelah. Saya meminta kepada kawan-kawan
untuk beristirahat sejenak. Mungkin ada rasa kecewa di dalam benak kawan-kawan
saya. Tapi mau bagaimana lagi? Untung saja kawan-kawan saya memaklumi itu
karena memang kami datang tanpa persiapan fisik.
Setelah
dirasa cukup, kami kembali melanjutkan perjalanan. Memang benar-benar berat
rasanya. Mungkin terhitung empat kali saya meminta berhenti dan istirahat
terlebih dahulu. Tentu saja, waktu kami terbuang banyak karena saya yang
gampang lelah. Hingga pada akhirnya saya benar-benar kacau. Kaki saya sudah
tidak kuat lagi untuk melangkah dan membuat pernapasan saya tidak teratur.
Berlatar belakang dari hal itu, membuat isi kepala saya langsung pusing. Saya
mengalami pusing dan mual.
"Kenapa,
Ji?" Tanya Gading.
"Mual.
Rasanya pusing seperti berputar-putar. Sesak napas seakan tidak ada
oksigen," jawab saya.
"Oh
itu karena kamu tidak mengatur napas dengan baik," Jawab Jarwo.
Di
kejauhan pedesaan yang terlihat dibawah, terdengar suara Adzan Maghrib. Kami
memutuskan untuk istirahat sampai Adzan selesai berkumandang. Kami semua
melepas carierr dan barang bawaan.
Sebenarnya,
perihal mengatur napas, itu bisa saya lakukan dengan catatan tidak membawa
beban berat. Kaki yang harus melangkah naik, carierr yang menjadi beban
dipundak menjadi awal dari kelelahan saya.
"Untuk
mengatur napas, dua kali melangkah ambil napas, dua kali melangkah buang
napas," ucap Jarwo memberi ilmunya.
Adzan
selesai berkumandang, kami bersiap kembali. Headlamp harus kami pasang dari
sekarang agar nanti tidak rumit ketika gelap datang. Untung saja Jarwo
menawarkan carierr yang berada di pundak saya dia saja yang membawa. Saya salut
dengannya, meskipun tubuhnya lebih kecil dari saya, tetapi kemampuan fisiknya
lebih besar dari saya.
Di
perjalanan, kami banyak bertemu dengan petani-petani yang baru saja pulang dari
berkebun. Kami menyapa dan petani itu memberikan doa agar kami lancar dalam
mendaki. Terima kasih, Pak Petani.
Bersambung