Sedikit gambaran mengenai Gunung Artapela. Gunung ini tidak seperti
gunung-gunung yang lainnya. Tidak ada hutan disini. Tetapi untuk pepohonan
tinggi masih tetap ada walaupun jarang-jarang. Sepertinya para warga disini
sudah mengubah gunung ini menjadi lahan berkebun. Banyak kebun menghampar di
lereng gunung, bahkan mungkin sampai ke puncak.
Gelap
mulai datang. Headlamp kami nyalakan dua saja. Di orang pertama dan orang
ketiga yang menyalakan headlamp. Sisanya, untuk cadangan jika baterai headlamp
sudah redup bahkan habis.
Jalur
tracking tidak ada bebatuan atau tanah keras. Tanah gembur menghiasi sepanjang
jalur tracking kami. Ya, mungkin karena faktor di sisi kanan dan kiri adalah
perkebunan. Tanah model ini sangat menyusahkan di kedua kondisi, yaitu kering
dan basah. Jika kering, banyak tanah berterbangan yang menyebabkan kami sesak
napas. Jika basah, tanah akan menjadi licin dan rawan terpeleset. Huh, memang
serba salah. Tetapi namanya juga alam, kita tidak bisa menyalahkan alam begitu
saja. Yang kita bisa hanyalah beradaptasi dengan alam.
Kami
berpapasan dengan petani yang baru pulang dari kebun. Karena khawatir perihal
persediaan air, kami berinisiatif untuk bertanya kepada petani itu.
"Punten,
Pak. Mau bertanya, di puncak ada warung?" Tanya Jarwo yang masih
menggunakan bahasa Sunda.
"Iya,
ada di atas. Tapi nanti juga di depan ada gubuk istirahat. Disana juga ada
sumber air," jawab petani itu ramah.
"Baik,
terima kasih, Pak," ucap Kami berempat.
"Sama-sama,
hati-hati di jalan, ya."
Kami
mengangguk lalu kembali berjalan. Tak lama kemudian, di jalur yang hanya cukup
satu orang, terdengar suara motor trail dari depan. Dan benar, beberapa pemotor
tersebut lewat dan menyapa kami. Sedikit gambaran, beberapa jalur pendakian di
Gunung Artapela memang disatukan dengan jalur motor. Terkadang, beberapa petani
juga menggunakan motor untuk ke kebunnya. Tentu itu pemandangan yang baru saya
lihat. Ban belakang motor tersebut ditambahi dengan rantai agar tidak mudah
selip di tanah yang basah.
Suasana
semakin gelap, ditambah kabut turun laksana ingin menyantap. Kesekian kalinya,
beberapa air mulai turun dengan intensitas yang masih rendah. Pemandangan di
depan terlihat menyeramkan. Sementara pemandangan di samping kiri kami terlihat
indah. Lampu rumah di pedesaan berjejer dengan cantik. Kami beristirahat
sejenak.
Tidak
berniat menakuti, Jarwo menyarankan agar sesekali berhitung ketika kembali
mendaki nanti. Dengan tujuan, jumlah kami tetap sama. Jarwo juga menyarankan
agar saya sebagai navigator untuk sesekali melihat ke belakang. Tidak hanya
itu, Bekti sebagai Sweeper juga disarankan untuk tetap terus melihat ke depan,
tidak boleh sesekali melihat ke belakang. Ya, mendaki ketika gelap tiba memang
harus ekstra hati-hati.
Setelah
kembali berjalan beberapa saat, akhirnya kami tiba di pos 2. Kami pikir, akan
ramai di pos 2. Namun ternyata sangat sepi. Bentuk pos 2 sendiri adalah dataran
yang landai namun tidak lebar dan terdapat tiga gubuk disana. Satu gubuk untuk
cuci-menyuci, satu gubuk dengan pintu untuk beristirahat, dan satu gubuk lagi
sebagai kamar mandi. Kami beristirahat sejenak di pos 2. Tak lupa mengisi
persediaan air untuk merebus makanan nanti di puncak.
Cuaca
semakin mengkhawatirkan. Debit air yang turun dari langit mulai terasa banyak.
Terpaksa kami harus segera melanjutkan perjalanan. Jalur semakin gelap. Dua
headlamp yang kami gunakan semakin redup cahayanya bersamaan dengan turunnya
kabut yang semakin tebal. Di persimpangan jalur, kami berhenti sejenak untuk
memakai jas hujan.
Entah
di semua gunung seperti ini atau tidak, ini pengalaman pertama saya. Pertama
kali naik gunung langsung disambut kabut tebal dan hujan. Sungguh kejadian yang
tidak pernah saya duga. Patok penunjuk arah semakin tidak jelas. Kami berpacu
pada google maps yang untungnya masih ada sinyal internet.
"Sebentar,"
ucap saya ketika melihat google maps.
"Kenapa,
Ji?" Tanya Bekti.
Saya
menatap layar handphone yang sedang menunjukkan google maps. Ditengah-tengah
kesunyian dengan kabut tebal, kami salah jalan dan tersasar.
"Kita
nyasar. Kita memutar balik semakin jauh dari puncak," ucap saya.
Mendengar
itu, saya dan kawan-kawan lemas. Kami beristirahat sejenak mendinginkan pikiran
yang memang seharusnya dingin karena suhu rendah. Rasanya malas sekali kembali
ke persimpangan sebelumnya. Namun harus bagaimana lagi? Terkadang, beberapa
perjuangan harus berjalan mundur.
Intensitas
hujan semakin deras. Asap yang keluar dari mulut menemani perjalanan kami.
Kabut juga semakin tebal. Jarak pandang benar-benar terbatas. Jika digambarkan,
tidak sampai dua meter sudah tidak terlihat apa-apa di depan kami. Headlamp,
dan senter handphone tidak mampu menembus tebalnya kabut. Kami benar-benar
ekstra hati-hati dalam melangkah.
Rasa
tenang datang tatkala kami kembali ke jalur yang benar dan menemukan patok
bertuliskan, "Puncak Artapela ke kiri ±200 meter". Rasa lemas yang
sedari tadi menghantui kami, hilang seketika. Hanya melihat tulisan patok
tersebut, dapat membakar kembali semangat yang kami miliki. Sungguh keajaiban
yang aneh.
"Halo?!"
Teriak Jarwo tatkala mencium bau-bau puncak Artapela.
Kami
menapaki tanah yang landai dan terdapat bekas api unggun. Tiba-tiba perasaan
kami tercampur aduk. Antara senang dan khawatir. Senang karena kami sudah dekat
puncak dan khawatir karena sama sekali tidak ada pendaki lain yang membalas
sahutan Jarwo.
Kabut
kian menebal. Tidak ada tanda-tanda kehadiran manusia di sekitar kami. Tidak
ada yang pasti di depan sana. Tetapi, langkah kaki kami semakin pasti.
Semakin
kedepan, kami semakin menanjak namun tidak terjal. Hingga kami sampai pada
dataran yang landai bak sebuah sabana. Di sisi kanan depan, terdapat dua batang
pohon dan papan diatasnya. Papan itu bertuliskan:
Selamat
Datang di Gunung
Artapela
Puncak Sulibra
2194 MDPL via Cirawa
Seketika
kami langsung terduduk lemas bahagia. Senyum tercetak di bibir kami. Saya dan
kawan-kawan berteriak bangga. Setelah perjalanan yang letih, akhirnya kami bisa
sampai di puncak Gunung Artapela.
Namun
kami tidak lama-lama berbahagia. Hujan kembali turun dengan intensitas yang
tinggi. Dengan gerak cepat dan sisa tenaga, kami membangun tenda. Tak lama,
tenda berhasil berdiri dan kami langsung mengamankan barang bawaan kami ke
dalam tenda.
Rasa
lapar menyerang di tengah dinginnya puncak Artapela. Namun sebelum itu, kami
semua harus mengganti baju terlebih dahulu. Baju yang kami gunakan mendaki
sangat basah dan tidak baik dipakai secara terus-menerus. Umumnya, pendaki
membawa dua baju. Yang pertama, baju ketika mendaki. Baju ini harus tetap
dipakai ketika mendaki. Meskipun basah oleh keringat maupun hujan, harus tetap
kami pakai. Kedua, baju kering. Baju ini kami pakai setelah membangun tenda.
Baju basah yang kami pakai mendaki sangat berbahaya bagi tubuh. Ditambah
dinginnya suhu bisa menyebabkan kami terkena hipotermia. Jadi, ketika sudah di
dalam tenda, sebisa mungkin tubuh harus kering dari air. Mungkin ada tambahan
baju, yaitu baju ketiga. Baju untuk bergaya saat foto di puncak, haha.
Setelah
ganti pakaian, kami mulai memasak. Yang pasti kami memasak nasi untuk
karbohidrat dan energi. Lalu untuk lauknya, kami memasak Sosis, nugget, dan
juga Otak-otak. Di kegiatan kami memasak, Gading kedinginan dan tertidur
duluan. Ya, tidak apa-apa. Daripada terus dipaksa melek, nanti akan terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan.
Masakan
sudah matang. Namun ada sedikit kegagalan ketika memasak nasi. Api yang terlalu
besar menyebabkan matang tidak merata. Bagian bawah gosong dan bagian atas
masih belum matang. Namun tidak apa-apa. Namanya juga di alam, apa yang kita
rencanakan tidak akan bisa sesempurna itu kita laksanakan.
Lidah
tidak bisa berbohong. Memakan nasi gosong memang tidak enak. Namun saat ini,
inilah makanan terenak yang ada.
Selepas
makan, kami berbincang sebentar ditemani susu hangat dan juga rokok. Di luar,
hujan masih turun disertai kabut yang juga masih tebal. Jujur, di luar tenda
begitu dingin. Namun di dalam tenda terasa hangat. Ya, hangatnya persahabatan.
Setelah
melewati beberapa kejadian dan rintangan bersama, saya merasa pertemanan kami
bertambah erat. Kami tertawa bahagia hingga akhirnya lelah dan tertidur.
Rencana kami selanjutnya adalah melihat sang mentari terbit dengan indahnya.
Bersambung