Tersasar | Gunung Artapela #3

 




        Sedikit gambaran mengenai Gunung Artapela. Gunung ini tidak seperti gunung-gunung yang lainnya. Tidak ada hutan disini. Tetapi untuk pepohonan tinggi masih tetap ada walaupun jarang-jarang. Sepertinya para warga disini sudah mengubah gunung ini menjadi lahan berkebun. Banyak kebun menghampar di lereng gunung, bahkan mungkin sampai ke puncak.

Gelap mulai datang. Headlamp kami nyalakan dua saja. Di orang pertama dan orang ketiga yang menyalakan headlamp. Sisanya, untuk cadangan jika baterai headlamp sudah redup bahkan habis.

Jalur tracking tidak ada bebatuan atau tanah keras. Tanah gembur menghiasi sepanjang jalur tracking kami. Ya, mungkin karena faktor di sisi kanan dan kiri adalah perkebunan. Tanah model ini sangat menyusahkan di kedua kondisi, yaitu kering dan basah. Jika kering, banyak tanah berterbangan yang menyebabkan kami sesak napas. Jika basah, tanah akan menjadi licin dan rawan terpeleset. Huh, memang serba salah. Tetapi namanya juga alam, kita tidak bisa menyalahkan alam begitu saja. Yang kita bisa hanyalah beradaptasi dengan alam.

Kami berpapasan dengan petani yang baru pulang dari kebun. Karena khawatir perihal persediaan air, kami berinisiatif untuk bertanya kepada petani itu.

"Punten, Pak. Mau bertanya, di puncak ada warung?" Tanya Jarwo yang masih menggunakan bahasa Sunda.

"Iya, ada di atas. Tapi nanti juga di depan ada gubuk istirahat. Disana juga ada sumber air," jawab petani itu ramah.

"Baik, terima kasih, Pak," ucap Kami berempat.

"Sama-sama, hati-hati di jalan, ya."

Kami mengangguk lalu kembali berjalan. Tak lama kemudian, di jalur yang hanya cukup satu orang, terdengar suara motor trail dari depan. Dan benar, beberapa pemotor tersebut lewat dan menyapa kami. Sedikit gambaran, beberapa jalur pendakian di Gunung Artapela memang disatukan dengan jalur motor. Terkadang, beberapa petani juga menggunakan motor untuk ke kebunnya. Tentu itu pemandangan yang baru saya lihat. Ban belakang motor tersebut ditambahi dengan rantai agar tidak mudah selip di tanah yang basah.

Suasana semakin gelap, ditambah kabut turun laksana ingin menyantap. Kesekian kalinya, beberapa air mulai turun dengan intensitas yang masih rendah. Pemandangan di depan terlihat menyeramkan. Sementara pemandangan di samping kiri kami terlihat indah. Lampu rumah di pedesaan berjejer dengan cantik. Kami beristirahat sejenak.

Tidak berniat menakuti, Jarwo menyarankan agar sesekali berhitung ketika kembali mendaki nanti. Dengan tujuan, jumlah kami tetap sama. Jarwo juga menyarankan agar saya sebagai navigator untuk sesekali melihat ke belakang. Tidak hanya itu, Bekti sebagai Sweeper juga disarankan untuk tetap terus melihat ke depan, tidak boleh sesekali melihat ke belakang. Ya, mendaki ketika gelap tiba memang harus ekstra hati-hati.

Setelah kembali berjalan beberapa saat, akhirnya kami tiba di pos 2. Kami pikir, akan ramai di pos 2. Namun ternyata sangat sepi. Bentuk pos 2 sendiri adalah dataran yang landai namun tidak lebar dan terdapat tiga gubuk disana. Satu gubuk untuk cuci-menyuci, satu gubuk dengan pintu untuk beristirahat, dan satu gubuk lagi sebagai kamar mandi. Kami beristirahat sejenak di pos 2. Tak lupa mengisi persediaan air untuk merebus makanan nanti di puncak.

Cuaca semakin mengkhawatirkan. Debit air yang turun dari langit mulai terasa banyak. Terpaksa kami harus segera melanjutkan perjalanan. Jalur semakin gelap. Dua headlamp yang kami gunakan semakin redup cahayanya bersamaan dengan turunnya kabut yang semakin tebal. Di persimpangan jalur, kami berhenti sejenak untuk memakai jas hujan.

Entah di semua gunung seperti ini atau tidak, ini pengalaman pertama saya. Pertama kali naik gunung langsung disambut kabut tebal dan hujan. Sungguh kejadian yang tidak pernah saya duga. Patok penunjuk arah semakin tidak jelas. Kami berpacu pada google maps yang untungnya masih ada sinyal internet.

"Sebentar," ucap saya ketika melihat google maps.

"Kenapa, Ji?" Tanya Bekti.

Saya menatap layar handphone yang sedang menunjukkan google maps. Ditengah-tengah kesunyian dengan kabut tebal, kami salah jalan dan tersasar.

"Kita nyasar. Kita memutar balik semakin jauh dari puncak," ucap saya.

Mendengar itu, saya dan kawan-kawan lemas. Kami beristirahat sejenak mendinginkan pikiran yang memang seharusnya dingin karena suhu rendah. Rasanya malas sekali kembali ke persimpangan sebelumnya. Namun harus bagaimana lagi? Terkadang, beberapa perjuangan harus berjalan mundur.

Intensitas hujan semakin deras. Asap yang keluar dari mulut menemani perjalanan kami. Kabut juga semakin tebal. Jarak pandang benar-benar terbatas. Jika digambarkan, tidak sampai dua meter sudah tidak terlihat apa-apa di depan kami. Headlamp, dan senter handphone tidak mampu menembus tebalnya kabut. Kami benar-benar ekstra hati-hati dalam melangkah.

Rasa tenang datang tatkala kami kembali ke jalur yang benar dan menemukan patok bertuliskan, "Puncak Artapela ke kiri ±200 meter". Rasa lemas yang sedari tadi menghantui kami, hilang seketika. Hanya melihat tulisan patok tersebut, dapat membakar kembali semangat yang kami miliki. Sungguh keajaiban yang aneh.

"Halo?!" Teriak Jarwo tatkala mencium bau-bau puncak Artapela.

Kami menapaki tanah yang landai dan terdapat bekas api unggun. Tiba-tiba perasaan kami tercampur aduk. Antara senang dan khawatir. Senang karena kami sudah dekat puncak dan khawatir karena sama sekali tidak ada pendaki lain yang membalas sahutan Jarwo.

Kabut kian menebal. Tidak ada tanda-tanda kehadiran manusia di sekitar kami. Tidak ada yang pasti di depan sana. Tetapi, langkah kaki kami semakin pasti.

Semakin kedepan, kami semakin menanjak namun tidak terjal. Hingga kami sampai pada dataran yang landai bak sebuah sabana. Di sisi kanan depan, terdapat dua batang pohon dan papan diatasnya. Papan itu bertuliskan:

Selamat
Datang di Gunung
Artapela
Puncak Sulibra
2194 MDPL via Cirawa

Seketika kami langsung terduduk lemas bahagia. Senyum tercetak di bibir kami. Saya dan kawan-kawan berteriak bangga. Setelah perjalanan yang letih, akhirnya kami bisa sampai di puncak Gunung Artapela.

Namun kami tidak lama-lama berbahagia. Hujan kembali turun dengan intensitas yang tinggi. Dengan gerak cepat dan sisa tenaga, kami membangun tenda. Tak lama, tenda berhasil berdiri dan kami langsung mengamankan barang bawaan kami ke dalam tenda.

Rasa lapar menyerang di tengah dinginnya puncak Artapela. Namun sebelum itu, kami semua harus mengganti baju terlebih dahulu. Baju yang kami gunakan mendaki sangat basah dan tidak baik dipakai secara terus-menerus. Umumnya, pendaki membawa dua baju. Yang pertama, baju ketika mendaki. Baju ini harus tetap dipakai ketika mendaki. Meskipun basah oleh keringat maupun hujan, harus tetap kami pakai. Kedua, baju kering. Baju ini kami pakai setelah membangun tenda. Baju basah yang kami pakai mendaki sangat berbahaya bagi tubuh. Ditambah dinginnya suhu bisa menyebabkan kami terkena hipotermia. Jadi, ketika sudah di dalam tenda, sebisa mungkin tubuh harus kering dari air. Mungkin ada tambahan baju, yaitu baju ketiga. Baju untuk bergaya saat foto di puncak, haha.

Setelah ganti pakaian, kami mulai memasak. Yang pasti kami memasak nasi untuk karbohidrat dan energi. Lalu untuk lauknya, kami memasak Sosis, nugget, dan juga Otak-otak. Di kegiatan kami memasak, Gading kedinginan dan tertidur duluan. Ya, tidak apa-apa. Daripada terus dipaksa melek, nanti akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Masakan sudah matang. Namun ada sedikit kegagalan ketika memasak nasi. Api yang terlalu besar menyebabkan matang tidak merata. Bagian bawah gosong dan bagian atas masih belum matang. Namun tidak apa-apa. Namanya juga di alam, apa yang kita rencanakan tidak akan bisa sesempurna itu kita laksanakan.

Lidah tidak bisa berbohong. Memakan nasi gosong memang tidak enak. Namun saat ini, inilah makanan terenak yang ada.

Selepas makan, kami berbincang sebentar ditemani susu hangat dan juga rokok. Di luar, hujan masih turun disertai kabut yang juga masih tebal. Jujur, di luar tenda begitu dingin. Namun di dalam tenda terasa hangat. Ya, hangatnya persahabatan.

Setelah melewati beberapa kejadian dan rintangan bersama, saya merasa pertemanan kami bertambah erat. Kami tertawa bahagia hingga akhirnya lelah dan tertidur. Rencana kami selanjutnya adalah melihat sang mentari terbit dengan indahnya.

Bersambung

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama